Jaring Pukat Harimau Berdampak Pada Ekosistem Laut, Kapal Di Bawah 10 GT Hanya Dapat Teguran

SAMPANG – Penggunaan pukat harimau sangat dilarang karena dapat membahayakan ekosistem dan merusak laut. Dampak kerusakan laut paling besar yang disebabkan oleh pukat harimau, selain menjaring ikan-ikan yang besar atau kecil serta hewan laut lainnya adalah merusak terumbu karang, Kamis, 03/08/2023

Namun Kapal berukuran kurang dari 10 gross ton (GT) tak lagi dibebani dengan perizinan yang bermacam-macam. Namun, nelayannya tidak dibolehkan menggunakan alat tangkap Pukat harimau lagi.

Hal itu ditegaskan oleh kadis perikanan Wahyu Prihartono mengatakan pengguna jaring pukat harimau di Kota Bahari yang tertangkap oleh pihak keamanan (Polairud) Sampang tidak dihukum sebagaimana pelanggar-pelanggar aturan yang lain.

“Artinya sampai saat ini menurut dia, pengguna jaring pukat harimau tersebut hanya diambil jaringnya saja, tidak sama orangnya, ” Terangnya

Menurutnya, pemerintah telah berkomitmen menjaga laut untuk kesejahteraan nelayan. Sudah semestinya nelayan pun ikut menjaga laut, salah satunya dengan meninggalkan jaring pukat harimau dan beralih menggunakan alat yang ramah lingkungan.

“Kalau pemerintah melakukan pelarangan, bukan untuk menghentikan sampeyan punya mata pencaharian, tapi untuk mengalihkan. Kan bukan dilarang menangkap sama sekali. Cuma melaut ganti alatnya,” katanya

Sedangkan Kepala Satuan (Kasat) Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) Polres Sampang, Catur Rahardjo menyampaikan, bahwa kalau kapal dibawah 10 Gros Tonnage (GT) itu termasuk nelayan Kecil, kalau sudah diatas 20 GT merupakan nelayan besar.

“Untuk nelayan kecil berbeda dengan nelayan besar, ada kebijakan sendiri dari pihaknya di pusat, juga dari bapak presiden tentang perlindungan nelayan kecil, ” Ucapnya

Susi memberikan pemahaman, penggantian alat tangkap ikan bertujuan untuk melindungi mata pencaharian para nelayan sendiri. Sebab, apabila masih menggunakan cantrang, akan mengangkat semua ikan, termasuk ikan berukuran kecil seperti ruca, karena jaringnya masuk hingga ke dasar laut. Habisnya ikan berukuran kecil membuat keseimbangan laut dangkal terganggu. Jumlah ikan lama kelamaan berkurang. Ikan berukuran besar pun tak lagi mau menepi karena tidak ada ikan yang dimakan.

“Nek iwake entek, arep apa. Iku sing kudu dipikir. Laut kudu dijaga. Nek laute sehat, rajungannya banyak lagi, srimping banyak lagi, tengiri banyak lagi, bawal putih ada lagi, sekarang sudah Rp 800 ribu sampai Rp 1 juta (per kilogram) harganya. Tapi, kalau orang pantura ndak bisa panen bawal putih lagi, jalaran laute digaruk saben dina,” ujarnya.

Catur sangat berharap, nelayan mau beralih ke alat tangkap ramah lingkungan. Sebab, pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan nelayan, sekaligus membangun industri kemaritiman yang besar.

“Untuk mewujudkan itu dibutuhkan nelayan yang sehat, kuat, dengan permodalan yang dibantu pemerintah untuk dapat melaut, mengisi laut dengan kekuatan armada nelayan dalam negeri, ” Pungkasnya.
(Md)