Mengenal Sosok Budayawan, Sastrawan dan Sejarawan Asal Pulau Madura

SAMPANG – Bustomi Irwan Kurniadi (64) berasal dari Dusun Sembung Desa Jatra Timur Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang. Meski sudah tua, ia masih mampu berkiprah dalam hal-hal Terkait ke Maduraan. Bahkan sekarang, pria yang akrab dengan panggilan Bustomi itu, juga menyumbang beberapa data ikat kepala untuk dijadikan rekomendasi pakaian adat kabupaten yang berjuluk bahari.

Ia mulai tertarik tentang ke Maduraan sejak kelas Sekolah Dasar. Padahal waktu itu tidak ada pembelajaran yang mendalam terkait hal-hal yang berbau Madura. Selain itu ia juga menimba, baik tentang budaya, Sastra, seni terkait Madura kepada guru ngajinya yang bernama Ust. H Ja’far Shodiq. Hanya saja, ia tidak ingat tahun saat ia sedang duduk di kelas 3 SD. Selain pada guru ngaji, ia juga mempelajari hal demikian kepada beberapa guru SD nya. Diantara guru-guru SD itu ada Bapak SA Fadly, Bapak Sulaiman, dan bapak Mohammad Sirad
“Saya itu terarik saat guru madrasah saya bercerita tentang ke maduraan,” sambil membenarkan songkok hitamnya, ia menceritakan.

Kecintaannya terkait suatu hal yang berkenaan dengan Madura, saat ada guru Sekolah menengah pertama (SMP) yang gemar bercerita tentang budaya-budaya Madura. Nama guru itu, Bapak Eddy Suloyo. Sehingga, selain belajar dalam Sekolah waktu itu, ia juga acap kali menerima wejangan tentang Madura dari guru tersebut. Selain SMP, saat dia duduk di sekolah pendidikan guru (SPG) ada Bapak Muhammad Ramli yang juga menjadi salah satu gurunya.
“Tetapi, bu saya sendiri, Nyai Duhroh binti K Hasan Robi’, juga menjadi pembimbing tingkatan yang tiada batasnya,” ungkapnya.

Bahkan saking cintanya kepada satra, budaya, dan bahasa Madura, menjadikan ia gemar mengoleksi ratusan buku tentang Madura. Bukit tersebut dari beberapa aspek. Yakni, tentang bahasa, sastra, seni, dan budaya Madura.
“Ada 400 buku yang ada di di rumah saat ini. Ratusan buku itu, sudah saya baca semua,” katanya.
Ditanya terkait pemuda Madura saat ini, ia mengaku kecewa. Bagaimana tidak, sebab banyak generasi penerus yang lupa dengan bahasa ibu (bahasa Madura). Selain itu, tidak sedikit dari pemuda yang acap kali bergaya layaknya orang asing di Madura ini.
“Sehingga dapat dikatakan, pemuda kita itu sudah terbentur dinding peradapan, dan sudah tercraput dari akar budaya Madura,” timpalnya.

Sehingga ia berharap, mudahan-mudahan dengan pengarsipan yang dilakukan selama ini, dapat berguna disuatu saat nanti. Selain itu, ia juga berharap agar para pemuda generasi penerus Madura, agar jangan lupa kemaduraannya.
“Sebab, saat saya menyumbang beberapa data ikat kepala khas Madura, hanya minim yang tertarik tentang Madura itu,” paparnya.(md)