Ragam  

Eksistensi Ritual Nelayan Sampang, Pada Acara Penurunan Perahu Baru

SAMPANG – Kompak nyanyikan Jung Tarak Tajung masyarakat berbondong-bondong menuju pesisir pantai, hanya untuk sekedar mendorong kapal hingga siap lepas ke selat Madura bagian Sampang. Di kapal yang akan didorong ke laut.
Begitulah Ali Muddin, pemuda Desa Pulau Mandangin Kecamatan Sampang memulai kisah tradisi matoron kapal (menurunkan kapal ke selat).
Tradisi itu dilakukan setiap ada salah satu orang warga yang selesai membuat kapal baru. Tentunya saat kapal itu ingin diturunkan ke air. Artinya, kegiatan ini bukan kegiatan tahunan, bulanan, apalagi mingguan. Melainkan, setiap ada kapal baru yang diturunkan. “Saya tidak tau siapa yang memulai dahulunya, yang jelas dari dahulu hingga saat ini tradisi itu dilakukan oleh masyarakat Mandangin,” Ceritanya

Adapun tradisi tersebut, meski yang memiliki hajat hanya satu keluarga. Namun, banyak masyarakat yang mengikuti ritual dari awal hingga akhir. Menurutnya ada beberapa hal terkait ritual matoron kapal itu, diantaranya, membaca mantara (dia dari kiyai sepuh), memasang sesajen (bunga-bunga) lalu menurunkan kapal ke air selat sambil menyanyi ‘Jung tarak Tajung’. Nyanyian itu dilakukan hingga kapal menyentuh sepenuhnya ke permukaan air. “Jung tarak tajung le alele,” kalimat itu dinyanyikan secara berulang-ulang saat penurunan kapal berlangsung.

Secara filosofis kalimat Jung tarak tajung memiliki arti tersendiri. Yakni, dorong dan tariklah ayo dorong. Sehingga masyarakat desa Pulau Mandangin kompak dan serentak dalam mendorong kapal. Artinya, dorongan tangan masyarakat Pulau mandangin sesuai irama nyanyian itu. “Antara dorongan dengan nyanyian dilakukan secara bersamaan dan serentak,” sambil menunjukkan notasi musik Jung tarak tajung, ia bernyanyi berkali-kali.

Secara mistisme, nyanyian Jung tarak tajung dipercaya, bisa menambah kekuatan dan keselamatan saat penurunan kapal berlangsung. Sedangkan secara lingkup besar, tradisi matoron Kapal ini, dipercaya saat kapal dipakai menangkap ikan, hasil ikannya akan banyak. “jadi begitu kalau secara spritiualnya,” katanya singkat.
Dalam tradisi ini, Ali Muddin melihat rasa gotong royong pada masyarakat. Selain itu, pada umbul-umbul uang menjadi incaran bagi masyarakat, sehingga saat kapal menyentuh air seutuhnya, masyarakat yang berada di atas kapal berebutan mengambil uang itu. “Alhamdulillah, tradisi ini masih dilaksanakan hingga sekarang,” pungkasnya. (Md)